SERI DISKUSI ANGGOTA LEGISLATIF 2024 – 2029 DAN KELOMPOKPEREMPUAN
Seri 2:DiskusiLuring“Korupsi Dan Kejahatan Terhadap Perempuan: Memastikan Komitmen Anggota Legislatif 2024-2029 Untuk Memberi Solusi Yang Berpihak Pada Perempuan”
Korupsi di Indonesia masih menjadi permasalahan mendasar yang terjadi di berbagai sektor. Asian Development Bank (ADB) mendefinisikan korupsi sebagai kegiatan yang melibatkan perilaku tidak pantas dan melawan hukum dari pegawai sektor publik dan swasta demi kepentingan diri sendiri. Korupsi membatasi akses perempuan ke sumber daya publik, informasi, dan pengambilan keputusan, sehingga memperkuat diskriminasi sosial, budaya, dan politik. Dampak korupsi terhadap perempuan kerap kali memperburuk posisi mereka dalam masyarakat, menghilangkan hak-hak dasar untuk hidup dan mempertahankan hidup. Korupsi juga sering kali menjadi pintu masuk untuk kejahatan lain, seperti perkawinan anak, perdagangan orang, dan sekstorsi. Dalam kasus perkawinan anak dan perdagangan orang, dokumen identitas sering dipalsukan dengan menyuap petugas. Studi oleh SPAK Indonesia di Makassar, Bulukumba, dan Pare-pare pada tahun 2021 menemukan bahwa para korban sering dipindahkan ke wilayah lain melalui jalur ilegal dengan biaya tertentu.
Pada Jumat, 17 Mei 2024, SPAK Indonesia menyelenggarakan diskusi kedua dari seri diskusi anggota legislatif 2024-2029 dengan kelompok perempuan didukung oleh International Foundation of Electoral System (IFES) dan South East Asian Nations for Transparent and Accountable Governance (SEANTAG) yang membahas isu-isu krusial terkait korupsi dan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Diskusi yang diadakan melalui Zoom ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Komisioner KomNas Perempuan Alimatul Qibtiyah, Anggota DPR RI 2024-2029 Rieke D. Pitaloka, dan Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan 2024-2029 M. Irfan AB. Diskusi ini dimoderatori oleh Ema Husain dan diikuti oleh peserta dari kelompok perempuan.
Dalam diskusi tersebut, berbagai isu yang diajukan oleh masyarakat, khususnya kelompok perempuan, diantaranya kurangnya kolaborasi antara stakeholder, lemahnya pengawasan dan evaluasi terhadap implementasi UU pemberantasan korupsi, serta perlunya evaluasi dan koordinasi antara satgas antikorupsi dan satgas pencegahan kekerasan seksual di kampus.
Rieke D Pitaloka, anggota DPR RI terpilih menekankan pentingnya memiliki data yang akurat dan terintegrasi dari berbagai desa dan kelurahan untuk mengetahui bentuk-bentuk korupsi serta jumlah aktual dari kejahatan terhadap perempuan, termasuk pelaku dan korban TPPO. Menurut Rieke, kekurangakuratan data yang ada menyebabkan banyak masalah sosial tidak ditangani dengan maksimal. Andi Irfan AB, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan menekankan perlunya peningkatan kapasitas dan pelatihan antikorupsi untuk para anggota legislatif, dan adanya ruang-ruang kolaborasi dengan berbagai stakeholder dalam merespon kekerasan terhadap perempuan.
Diskusi ini dihadiri oleh berbagai anggota organisasi masyarakat termasuk juga kelompok-kelompok perempuan dari berbagai daerah.